Calon Hakim Agung Kamar Pidana Militer yang saat ini menjabat sebagai Anggota Pokkimiltama Mahkamah Agung (MA), Brigjen TNI Slamet Sarwo Edy, ditanya mengapa angka kasus narkotika di lingkungan TNI bisa tinggi meski TNI dikenal sebagai institusi yang menerapkan disiplin tinggi. Awalnya Anggota Komisi Yudisial Amzulian Rifai memintanya menjelaskan mengenai statistik perkara di peradilan militer maupun di pengadilan tempat bertugas sekarang. Slamet kemudian mengatakan ia tidak bisa menyampaikan angkanya secara detil namun hanya akan menjelaskannya secara umum.
Ia kemudian mengungkapkan pengalamannya saat bertugas sebagai Panitera Muda Militer MA pada 2018 sampai 2019. Menurutnya, tiga tahun berturut turut sejak 2018 statistik perkara pidana militer yang dimohonkan ke MA justru menurun. Pada tahun 2018, kata dia, perkara kasasi militer tercatat 500 lebih.
Kemudian pada 2019 perkara kasasi militer tercatat 400 lebih dan pada 2020 tercatat 300 lebih. Selain itu, Slamet mengungkapkan pengalamannya ketika menjabat sebagai Ketua Pengadilan Militer di Banda Aceh pada 2006. Saat itu, kata dia, ia bisa menyelesaikan perkara dalam satu tahun berjumlah 230 lebih.
Amzulian kemudian memintanya menjelaskan jenis jenis tindak pidana apa saja yang mendominasi perkara di peradilan militer. Slamet kemudian meminta izin kepadanya untuk menyampaikan fakta pada saat ia bertugas di Mahkamah Agung selama 2018 dan 2019. Hal itu disampaikannya dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke 4 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Jumat (6/8/2021).
"Fakta yang kasasi di Mahkamah Agung, dua tahun, 2018 dan 2019 itu yang paling tinggi adalah jenis tindak pidana narkotika. Itu mencapai 80% di atas, 85% bahkan. Itu sudah saya survei. Bahkan sudah menjadi kumpulan putusan," kata Slamet. Jenis kedua, kata dia, adalah tindak pidana desersi atau perbuatan yang sengaja dilakukan oleh militer dengan tidak hadir lebih dari 30 hari pada waktu damai dan lebih dari 4 hari waktu perang. Berikutnya, kata dia, adalah pelanggaran pelanggaran yang sifatnya merata yakni terkait kesusilaan, pencurian, dan menghilangkan alat kelengkapan perang.
Selain itu, Slamet juga mengungkapkan pengalamannya selama bertugas sebagai Kepala Pengadilan Militer di Banda Aceh. Menurutnya, tindak pidana yang paling banyak ia tangani adalah terkait narkotika. "Di sana memang yang paling berkembang kan masalah ganja. Jadi ganja. Kedua disersi yang paling banyak," kata dia.
Namun demikian, justru ketika bertugas di Pengadilan Militer di Balikpapan yang paling banyak adalah tindak pidana desersi. Amzulian kemudian menanyakan lebih jauh lagi terkait kasus narkotika. Ia bertanya mengapa angka kasus narkotika di lingkungan TNI bisa lebih tinggi dibandingkan dengan perkara lain.
Menurut pandangan Slamet, kejahatan muncul di mana saja dan tidak terbatas kepada prajurit TNI, sekalipun prajurit TNI sudah dibekali dengan disiplin yang tinggi oleh kesatuannya. Ia lalu menjelaskan sejumlah faktor yang memungkinkan hal tersebut. "Ya karena ada kesempatan yang pertama, yang kedua karena ada niat yang bersangkutan. Kedua unsur ini yang dimiliki unsur para pelanggar tindak pidana. Mengapa terjadi niat dan kesempatan? Ini kaitannya dengan pembinaan satuan," kata Slamet. Oleh karena itu, menurutnya pembinaan satuan harus terus menerus dilakukan.
Namun demikian, meski pembinaan terus menerus dilakukan ada faktor lain juga yang menyebabkan tindak pidana tersebut bisa terjadi. "Namanya niat jahat itu kan banyak faktor. Apa ada faktor ekonomi, kesempatan, mungkin faktor lain yang membuat niat dia timbul. Lalu ada kesempatan," kata dia.